SOLID GOLD JAKARTA - Belum hilang kesedihan akibat gempa yang melululantakkan Kota Lombok, Nusa Tenggara Barat, gempa dahsyat kembali mengguncang wilayah Tanah Air, Jumat 28 September 2018. Gempa magnitudo 7,4 yang diikuti tsunami dahsyat membuat sebagian wilayah Palu dan Donggala rata dengan tanah.
Sumber Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut korban meninggal 832 orang. Korban meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan dan terhempas air bah tsunami.
"Jumlah korban jiwa per 30 September 2018 pukul 13.00 WIB 832 orang meninggal dunia," ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Jakarta, Minggu (30/9/2018).
Menurut dia, mayoritas korban merupakan warga Palu sebanyak 821 orang. Sementara, 11 korban lainnya merupakan warga Donggala.
BNPB juga mencatat 540 orang luka berat. Mereka dirawat di sejumlah rumah sakit.
Sebanyak 16.732 jiwa lainnya mengungsi. Mereka mengungsi di 24 titik di Palu dan Donggala.
"Diperkirakan jumlah korban akan terus bertambah karena masih banyak korban yang belum teridentifikasi, korban diduga masih tertimbun bangunan runtuh dan daerahnya belum terjangkau tim SAR," ujar Sutopo.
Dia menjelaskan mendapatkan info dari PMI pusat di Donggala beberapa korban tewas tertimpa reruntuhan dari tsunami sudah diamankan dan diindentivikasi.
Dia menjelaskan hari ini korban tewas mulai dimakamkan secara masal untuk menimbulkan penyakit.
"Hari ini korban mulai dimakamkan secara massal untuk menghindari timbulnya penyakit," papar Sutopo.
Kemungkinan jumlah korban akan terus bertambah didasari kondisi di lapangan masih banyak ditemukan reruntuhan bangunan yang belum dievakuasi.
Seperti di pusat perbelanjaan terbesar di Kota Palu, Mal Tatura di Jalan Emy Saelan, juga ambruk. Diduga ada puluhan hingga seratusan orang yang terjebak dalam mal empat lantai yang dibangun 2006 itu.
Menurut salah seorang pegawai mal, para korban yang terjebak di dalam mal yang ambruk sebagian itu belum dievakuasi.
Di tempat lain, seperti Hotel Roa-Roa yang berlantai delapan dan berada di Jalan Pattimura, juga rata dengan tanah. Hotel yang memiliki 80 kamar itu terdapat 76 kamar yang terisi oleh tamu hotel yang menginap.
Menurut sejumlah orang yang ditemui di hotel yang roboh itu, banyak korban gempa yang berada dalam reruntuhan gedung hotel.
Proses evakuasi para korban di Hotel Roa-Roa masih terus berlangsung. Basarnas memperkirakan ada puluhan orang yang tertimbun dalam bangunan tersebut.
"Evakuasi korban tertimbun gempa di Hotel Roa-Roa Kota Palu terus dilakukan Tim SAR Gabungan dikoordinir Basarnas. Diperkiran terdapat 50 orang di bawah reruntuhan bangunan. Alat berat diperlukan untuk evakuasi," tulis Sutopo.
Sampai saat ini beberapa korban bencana gempa masih mengungsi, di antaranya ke perbukitan di Donggala Kodi, Sulawesi Tengah.
Pengungsi gempa di kawasan ini membutuhkan makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
"Kita di sini butuh makanan atau mie instan, hingga hari ini belum ada bantuan karena mungkin pemerintah masih fokus untuk penanganan di kota Palu yang banyak korban jiwa," ujar salah seorang pengungsi, Arif Pandian, Minggu (30/9/2018).
Ia mengungkapkan, di perbukitan tempat ia mengungsi, ada sekitar 1.000 orang yang menempati tempat itu.
"Selain makanan, di sini juga banyak anak-anak yang butuh susu dan pampers. Anak saya baru berumur satu tahun dan terus menangis karena tidak ada susu dan belum ada toko yang buka," ucapnya dikutip dari Antara.
Arif mengatakan, jika listrik masih padam total, namun jaringan telekomunikasi sudah bisa digunakan walaupun terkadang masih sulit mendapat sinyal.
"Di sini kita tinggal di tenda, dan beralaskan karpet dan juga dus bekas, saat ini bahkan hujan mulai turun," kata dia, lagi.
Ia berharap segera datang bantuan gempa agar ia bersama keluarga dan korban lainnya dapat segera memperoleh barang yang dibutuhkan.
Gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah rupanya tidak hanya terjadi di Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Ada dua kabupaten lagi di Sulteng yang juga terdampak gempa.
"Bukan hanya Kota Palu dan Kabupaten Donggala, tapi juga Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong. Semuanya di Sulawesi Tengah," ujar Sutopo.
Namun hingga saat ini, baru Kota Palu yang dapat diakses komunikasinya. Akses ke tiga kabupaten terdampak lainnya masih sangat sulit. Bahkan BNPB belum mengetahui secara pasti bagaimana kondisi di sana.
"Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong belum ada laporan secara terus menerus dan komunikasi masih lumpuh, listrik masih padam," katanya.
Sutopo menuturkan, pihaknya belum mengetahui secara persis sejauh mana dampak gempa dan tsunami di tiga kabupaten tersebut. Termasuk penanganan terhadap masyarakat yang menjadi korban.
"Bapak presiden juga telah berusaha untuk kontak dengan Gubernur Sulawesi Tengah ternyata juga mengalami kendala yang sama," ucap Sutopo.
Gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat 28 September 2018 telah memakan korban jiwa ratusan orang. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan sejumlah faktor penyebab banyaknya korban jiwa pada musibah tersebut. Salah satunya tidak ada sirine deteksi dini tsunami yang berbunyi.
Saat gempa terjadi, Sutopo menambahkan, masih banyak masyarakat yang beraktivitas di sekitar pantai. Lantaran tidak ada sirine atau penanda potensi terjadinya tsunami, masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa dan tidak segera mencari tempat yang lebih aman.
"Masyarakat banyak yang tidak tahu ancamannya sehingga masih melakukan aktivitas di pantai. Akhirnya banyak korban akibat tsunami," ujar Sutopo dalam akun Twitter yang dikutip Liputan6.com, Minggu (30/9/2018).
Menurut Sutopo, mereka yang selamat dari terjangan tsunami rata-rata karena tengah berada di tempat-tempat yang lebih tinggi.
"Terbatasnya peringatan dini, pengetahuan dan perilaku antisipasi tsunami, shelter dan tata ruang menyebabkan masih banyak korban akibat tsunami," ucapnya.
Sutopo menambahkan, Indonesia butuh alat deteksi tsunami atau BUOY Tsunami Early Warning System (TEWS). Sebab Sutopo menjelaskan Indonesia adalah bagian dari wilayah rawan tsunami serta menimbulkan banyak korban.
"Kalau menurut saya memerlukan sangat memerlukan wilayah Indonesia itu yang rawan tsunami kejadian tsunami sering terjadi dan menimbulkan banyak korban," kata Sutopo.
Dia menjelaskan hingga saat ini pihak pemerintah belum memfasilitasi alat tersebut. Ada beberapa hal kata dia yang jadi hambatan. Salah satunya yaitu terkait pendanaan.
"Kalau kita melihat ya pendanaan apalagi turun setiap tahun. Dulu sempat hampir mendekati 2 Triliun tahun ini hanya 700. Nah ini jadi kendala, disatu sisi ancaman bencana meningkat masyarakat yang terpapar teresiko semakin meningkat kejadian bencana meningkat," papar Sutopo.
Sutopo juga menjelaskan sampai saat ini anggaran penanggulangan bencana setiap tahun di BNPB mengalami penurunan. Sehingga kata dia berpengaruh dengan upaya navigasi kepada masyrakat.
"Bagaimana kita bersosialisasi. Bagaiamana melakukan pengurangan resiko bencana. Memasang perinyatan dini dan menjadi terbatas karena anggarannya memang terus berkurang," kata Sutopo. - SOLID GOLD
sumber : liputan6
Sumber Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut korban meninggal 832 orang. Korban meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan dan terhempas air bah tsunami.
"Jumlah korban jiwa per 30 September 2018 pukul 13.00 WIB 832 orang meninggal dunia," ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Jakarta, Minggu (30/9/2018).
Menurut dia, mayoritas korban merupakan warga Palu sebanyak 821 orang. Sementara, 11 korban lainnya merupakan warga Donggala.
BNPB juga mencatat 540 orang luka berat. Mereka dirawat di sejumlah rumah sakit.
Sebanyak 16.732 jiwa lainnya mengungsi. Mereka mengungsi di 24 titik di Palu dan Donggala.
"Diperkirakan jumlah korban akan terus bertambah karena masih banyak korban yang belum teridentifikasi, korban diduga masih tertimbun bangunan runtuh dan daerahnya belum terjangkau tim SAR," ujar Sutopo.
Dia menjelaskan mendapatkan info dari PMI pusat di Donggala beberapa korban tewas tertimpa reruntuhan dari tsunami sudah diamankan dan diindentivikasi.
Dia menjelaskan hari ini korban tewas mulai dimakamkan secara masal untuk menimbulkan penyakit.
"Hari ini korban mulai dimakamkan secara massal untuk menghindari timbulnya penyakit," papar Sutopo.
Kemungkinan jumlah korban akan terus bertambah didasari kondisi di lapangan masih banyak ditemukan reruntuhan bangunan yang belum dievakuasi.
Seperti di pusat perbelanjaan terbesar di Kota Palu, Mal Tatura di Jalan Emy Saelan, juga ambruk. Diduga ada puluhan hingga seratusan orang yang terjebak dalam mal empat lantai yang dibangun 2006 itu.
Menurut salah seorang pegawai mal, para korban yang terjebak di dalam mal yang ambruk sebagian itu belum dievakuasi.
Di tempat lain, seperti Hotel Roa-Roa yang berlantai delapan dan berada di Jalan Pattimura, juga rata dengan tanah. Hotel yang memiliki 80 kamar itu terdapat 76 kamar yang terisi oleh tamu hotel yang menginap.
Menurut sejumlah orang yang ditemui di hotel yang roboh itu, banyak korban gempa yang berada dalam reruntuhan gedung hotel.
Proses evakuasi para korban di Hotel Roa-Roa masih terus berlangsung. Basarnas memperkirakan ada puluhan orang yang tertimbun dalam bangunan tersebut.
"Evakuasi korban tertimbun gempa di Hotel Roa-Roa Kota Palu terus dilakukan Tim SAR Gabungan dikoordinir Basarnas. Diperkiran terdapat 50 orang di bawah reruntuhan bangunan. Alat berat diperlukan untuk evakuasi," tulis Sutopo.
Sampai saat ini beberapa korban bencana gempa masih mengungsi, di antaranya ke perbukitan di Donggala Kodi, Sulawesi Tengah.
Pengungsi gempa di kawasan ini membutuhkan makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
"Kita di sini butuh makanan atau mie instan, hingga hari ini belum ada bantuan karena mungkin pemerintah masih fokus untuk penanganan di kota Palu yang banyak korban jiwa," ujar salah seorang pengungsi, Arif Pandian, Minggu (30/9/2018).
Ia mengungkapkan, di perbukitan tempat ia mengungsi, ada sekitar 1.000 orang yang menempati tempat itu.
"Selain makanan, di sini juga banyak anak-anak yang butuh susu dan pampers. Anak saya baru berumur satu tahun dan terus menangis karena tidak ada susu dan belum ada toko yang buka," ucapnya dikutip dari Antara.
Arif mengatakan, jika listrik masih padam total, namun jaringan telekomunikasi sudah bisa digunakan walaupun terkadang masih sulit mendapat sinyal.
"Di sini kita tinggal di tenda, dan beralaskan karpet dan juga dus bekas, saat ini bahkan hujan mulai turun," kata dia, lagi.
Ia berharap segera datang bantuan gempa agar ia bersama keluarga dan korban lainnya dapat segera memperoleh barang yang dibutuhkan.
Gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah rupanya tidak hanya terjadi di Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Ada dua kabupaten lagi di Sulteng yang juga terdampak gempa.
"Bukan hanya Kota Palu dan Kabupaten Donggala, tapi juga Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong. Semuanya di Sulawesi Tengah," ujar Sutopo.
Namun hingga saat ini, baru Kota Palu yang dapat diakses komunikasinya. Akses ke tiga kabupaten terdampak lainnya masih sangat sulit. Bahkan BNPB belum mengetahui secara pasti bagaimana kondisi di sana.
"Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong belum ada laporan secara terus menerus dan komunikasi masih lumpuh, listrik masih padam," katanya.
Sutopo menuturkan, pihaknya belum mengetahui secara persis sejauh mana dampak gempa dan tsunami di tiga kabupaten tersebut. Termasuk penanganan terhadap masyarakat yang menjadi korban.
"Bapak presiden juga telah berusaha untuk kontak dengan Gubernur Sulawesi Tengah ternyata juga mengalami kendala yang sama," ucap Sutopo.
Gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat 28 September 2018 telah memakan korban jiwa ratusan orang. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan sejumlah faktor penyebab banyaknya korban jiwa pada musibah tersebut. Salah satunya tidak ada sirine deteksi dini tsunami yang berbunyi.
Saat gempa terjadi, Sutopo menambahkan, masih banyak masyarakat yang beraktivitas di sekitar pantai. Lantaran tidak ada sirine atau penanda potensi terjadinya tsunami, masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa dan tidak segera mencari tempat yang lebih aman.
"Masyarakat banyak yang tidak tahu ancamannya sehingga masih melakukan aktivitas di pantai. Akhirnya banyak korban akibat tsunami," ujar Sutopo dalam akun Twitter yang dikutip Liputan6.com, Minggu (30/9/2018).
Menurut Sutopo, mereka yang selamat dari terjangan tsunami rata-rata karena tengah berada di tempat-tempat yang lebih tinggi.
"Terbatasnya peringatan dini, pengetahuan dan perilaku antisipasi tsunami, shelter dan tata ruang menyebabkan masih banyak korban akibat tsunami," ucapnya.
Sutopo menambahkan, Indonesia butuh alat deteksi tsunami atau BUOY Tsunami Early Warning System (TEWS). Sebab Sutopo menjelaskan Indonesia adalah bagian dari wilayah rawan tsunami serta menimbulkan banyak korban.
"Kalau menurut saya memerlukan sangat memerlukan wilayah Indonesia itu yang rawan tsunami kejadian tsunami sering terjadi dan menimbulkan banyak korban," kata Sutopo.
Dia menjelaskan hingga saat ini pihak pemerintah belum memfasilitasi alat tersebut. Ada beberapa hal kata dia yang jadi hambatan. Salah satunya yaitu terkait pendanaan.
"Kalau kita melihat ya pendanaan apalagi turun setiap tahun. Dulu sempat hampir mendekati 2 Triliun tahun ini hanya 700. Nah ini jadi kendala, disatu sisi ancaman bencana meningkat masyarakat yang terpapar teresiko semakin meningkat kejadian bencana meningkat," papar Sutopo.
Sutopo juga menjelaskan sampai saat ini anggaran penanggulangan bencana setiap tahun di BNPB mengalami penurunan. Sehingga kata dia berpengaruh dengan upaya navigasi kepada masyrakat.
"Bagaimana kita bersosialisasi. Bagaiamana melakukan pengurangan resiko bencana. Memasang perinyatan dini dan menjadi terbatas karena anggarannya memang terus berkurang," kata Sutopo. - SOLID GOLD
sumber : liputan6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar